Friday, April 24, 2020

Cerita Bersambung “Azzura” Part 2

                                 »Azzura«

                                    Part 2

       Satu minggu berlalu setelah kepulangan Syakir dari Prancis dan tak ada perubahan apapun dalam kehidupan keluarga Zura. Zura yang masih bersekolah dibangku SMA kini hanya menunggu waktu ujian penanda kelulusannya tiba dan menghabiskan waktu liburnya di rumah. Sementara Syakir membantu Abinya meng-handle perusahaan yang nantinya pula akan diambil alih olehnya setelah wisuda.

     “Ummi, Abi... besok kita jalan-jalan yuk sekalian berkunjung ke pesantren abang dulu,” ucap Zura saat sedang menyantap makan malam bersama keluarganya. Ia benar Syakir adalah seorang santri,  lain halnya dengan Zura yang dimasukkan ke sekolah negeri Syakir lebih memilih untuk belajar dan mondok di Pesantren daerah Bogor  sebelum akhirnya ia melanjutkan kuliah di Prancis.

     “Iya... abang setuju dek. Lagipula abang sudah lama sekali tidak berkunjung kesana sekalian silahturahim” sergap Syakir antusias.

Abi terlihat masih menimbang-nimbang tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya....

    “Hmm.. sepertinya besok Abi bisa tapi kita gak bisa nginap disana soalnya lusakan Abi ada pekerjaan di luar kota dan Syakir harus ikut” ucap Abi yang disambut senyuman oleh Zura dan Ummi sementara Syakir nampak memikirkan sesuatu.

    “Gak apa - apa kok, Bi. Gak usah nginap juga gak apa-apa iyakan bang?” sahut Zura antusias menatap Syakir.

    “Iya gak masalah kok dek.... tapi, Bi, apa tidak bisa Abi lusa keluar kotanya sendiri saja? soalnya Syakir belum siap,Bi” jawab sekaligus tanya Syakir nampak ragu.

Ummi yang sedari tadi hanya fokus melahap makanannya dan menyimak percakapan antara Abi dan anak-anaknya akhirnya mulai angkat suara.

     “Apa tidak sebaiknya kalau Syakir belum siap jangan di paksakan dulu, Bi?” tambah Ummi.

    “Baiklah, masalah ini nanti kita bicarakan lagi. Sekarang kita makan dulu!! masakan Ummi enak sekali lho  sayang kalau hanya di lihat,” ucap Abi mengalihkan pembicaraan dengan kekehan kecil dan semuanya pun menurut, mereka menghabiskan makanan masing-masing dengan lahap tanpa bicara apapun lagi.

***

“Abang, ayo!!” teriak Zura di depan pintu.

“Bentar dulu, Dek!” balas Syakir yang masih di kamarnya.

     “Iiihhh, Abang lama. Umi sama Abi sudah di mobil ini, Abang, cepatan!” perintah Zura tak sabaran. Hari ini memang mereka sudah akan berkunjung ke Pesanteren di Bogor.

     “Zura, yang sabar dong sayang. Abangnya lagi siap-siap tuh jangan digituin kasian,” tegur Ummi dari dalam mobil yang sedari tadi terpakir di halaman depan rumah tak jauh dari tempat Zura berdiri.

    “Heeheh, iya maafin Zura Ummi,” kekeh Zura dengan wajah polosnya.

Tak lama Syakir pun datang dengan membawa sebuah tas yang nampaknya terisi penuh.

    “Ayo, masuk mobil,Dek. Abang sudah siap ini. ” Syakir membuka bagasi mobil dan memasukkan tasnya ke dalam.

“Itu apa, Bang?” tanya Zura.

    “Ini baju-baju Abang yang sudah gak ke pake. Mau abang bawa ke pondok buat adik-adik santri di sana. Kan sayang masih bagus mau di buang. Siapa tau mereka mau,” jelas Syakir.

    “Uwwwaa, Abangnya Zura baik bangeet. Zura jadi sukaa,” canda Zura dibuat-buat.

    “Udah, Dek gausah muji gitu Abang juga udah tau kok,” kekeh Syakir sambil memasuki mobil diikuti oleh Zura. Abi dan Ummi hanya geleng-geleng kepala melihat kedua anaknya itu.

***
Di perjalanan Zura dan Syakir tak bisa diam, mereka selalu mengganggu Ummi dan Abinya. Syakir yang sudah dapat dibilang cukup dewasa pun kini ikut-ikutan tingkah Zura.

    “Ummi, cantik deh hari ini. Abi pasti tambah sayang, jadi pengen juga deh. Hahaha,” tawa Zura dan Syakir pecah menertawai Umminya yang salah tingkah.

    “ Dek, Abang penasaran deh. Gimana yah waktu Abi lamar Ummi?” tambah Syakir menggoda.

   “Iyaa Bang, Zura ju ....” Ucapan Zura terpotong oleh Abinya.

   “ Ehh sudah - sudah kalian masih kecil gak boleh kepo, ” tutur Abinya yang tidak diduga oleh Zura. Abinya yang dikenal selama ini kurang humoris kini bicara seperti ini, suatu keajaiban bagi Zura dan Syakir.

“Dek ..., ”  tekan Syakir pada Zura.

“Ya ... ,” jawab Zura dengan wajah pura-pura syok.

    “Abi kepancing,” ucap Zura dan Syakir yang di ikuti gelak tawa seisi mobil.

Sepanjang perjalanan mereka terus-terusan bercanda. Hingga akhirnya mereka pun sampai di pesanteren setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam.

***
Saat Zura akan turun dari mobil, tiba-tiba Syakir....

    “Dek, kamu pakai ini!” Menyodorkan sebuah kain tipis hitam berukuran persegi panjang mini dengan untaian tali pengikat yang senada disisi kiri dan kanannya yang juga terbuat dari kain. Entah dimana ia mengambilnya dan sejak kapan.

    “Cadar?” ucap Zura bertanya sembari mengambil cadar yang diberikan Syakir yang juga diikuti oleh tatapan penuh tanya dari Abi dan Ummi kepada Syakir.

    “Iya, Abang mau kamu pakai itu mulai sekarang. Santri disini sangat menjaga pandangan jadi bantulah mereka dengan kamu memakai itu,” jelas Syakir.

    “Iya,benar. Abi juga setuju. Dan Abi pikir  jangan hanya disini kamu pakai itu tapi seterusnya, Zura maukan, sayang?” tambah Abi.

Zura tampak menimbang-nimbang sambil menatap bergantian wajah Syakir, Abi dan Umminya.

“Jadi bagaimana, sayang?” tanya Ummi.

    “Hmm, iya Zura mau kok.” Senyum manis terukir di wajah Zura dan keluarganya.

    “Alhamdulillah.” Abi sangat bangga pada kedua anaknya yang tidak pernah menolak untuk taat pada perintah Allah. Terutama Syakir ia benar-benar sangat menjaga adiknya. Bukan hanya menjaga perihal urusan dunia tetapi juga perihal perkara akhirat.

***
     “Assalamu'alaikum, Ustadz,”ucap Abi pada Ustadz Abdul Wahab selaku pengasuh pondok Pesantren tempat Syakir menuntut ilmu dulu.

    “Wa'alaikumussalam warohmatullah, ehh Pak Reza. Silahkan masuk, Pak,” sambut Ustadz Wahab.

    “Terima kasih, Ustadz,” ucap Ummi dan Syakir dan juga Abi.

    “Ehh, kamu Nak Syakir kah?” Ustadz Wahab nampak memperhatikan Syakir.

“Iya Ustadz,” jawab Syakir sopan.

   “Oalaah,silahkan duduk!sudah lama ustadz tidak bertemu kamu, sampai hampir lupa,” kekeh Ustadz Wahab.

Setelah berbincang-bincang beberapa saat Ustadz Wahab dan istrinya pun yang sebelumnya tak pernah melihat Zura  bertanya.

    “Ohh iya, ini istrinya Nak Syakir, ya?” tanya istri Ustadz Wahab.

Zura yang mendengar itu diam-diam terkekeh dibalik cadarnya. Begitu pula keluarganya tersenyum mendengar ucapan istri dari ustadz Wahab.

     “Hehe, bukan, Ustadzah. Ini anak saya Zura, adik dari Syakir,” ucap Ummi.

     “Oalah. Saya kira istri nak Syakir. Maklum saja kami tak pernah melihat Zura sebelumnya” ucap istri Ustadz Wahab ramah.

     “Heheh, bukan Ummi,” jawab Syakir. Syakir memang biasa memanggil istri ustadz Wahab dengan sebutan Ummi. Ummi Raina.

     “Nak Zura sekarang sekolah, Nak?” tanya Ummi Raina.

“Iya, Ustadzah,” jawab Zura

     “Ehhh, panggil saja Ummi, sayang,” ramah Ummi Raina.

“Heheh, iya. Ummi,” lanjut Zura malu-malu.

Zura yang tadinya ngerusuh kini berubah 180 derajat. Ini karena Zura memang bersikap terbuka dan ceplas-ceplos hanya dihadapan keluarganya. Tapi jika didepan orang lain ia diajarkan untuk menjaga sikap dan malu, karena dia seorang wanita dan Zura paham itu. Sejak kecil ia dan Syakir memang sudah dididik dengan baik oleh Abi dan Umminya.



Part 3 next....