Sunday, April 26, 2020

Cerita bersambung “Azzura” Part 3


»Azzura«

Part 3

“Tempatnya adem ya, Bang.” Zura nampak memperhatikan setiap area pesantren yang dilaluinya. Setelah dari rumah Ustadz Wahab, Syakir mengajak Zura berjalan-jalan di area pondok termasuk menunjukkan dimana kamarnya dulu bersama kawan-kawannya sewaktu mondok.

“Iya, Dek.” Lain halnya dengan Zura yang baru pertama kali melihat suasana pondok, Syakir nampak mengenang masa-masanya dulu di tempat ini.

Beberapa santri yang lalu lalang memperhatikan Zura dan Syakir, mebuat Zura sedikit risih. Namun hal itu tidak dipikirkannya karena dia tidak sendiri, ia bersama abangnya.

“Assalamu'alaikum, Afwan, kamu Syakir kan?” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Syakir dan Zura sehingga membuat mereka berdua berbalik.

“Wa'alaikumussalam,” jawab Syakir dan Zura.

“Iya, aku Syakir. Maaf, anti siapa?” Syakir mengingat ingat wanita yang dihadapannya ini.

“Alda.” Lanjut wanita itu yang melihat Syakir nampaknya tidak mengenalinya. Menatap Syakir sesat lalu mengalihkan pandangannya ke bawah.

“Alda, anak ustadz Wahab kah? Afwan Aku lupa,” tanya Syakir

Zura yang memperhatikan Alda, gadis dengan paduan gamis syar'i dan cadar dihadapannya itu, tidak mengatakan apapun.

“Iya, Afwan. Ana disuruh Abi  untuk memanggil kalian berdua. Katanya Ingin membicarakan hal yang penting,” jelas Alda.

“Baiklah, ayo,” ajak Syakir.

Ketiganya pun berjalan bersama menuju rumah Ustadz Wahab yang tidak jauh dari tempat mereka sekarang. Zura masih penasaran dengan wanita yang kini di sampingnya, saat di rumah Ustadz Wahab tadi saat baru sampai ia tidak melihat wanita ini.

“Maaf, kata bang Syakir kakak anaknya Ustadz Wahab, ya. Tapi tadi aku tidak melihat kakak di rumah ustadz saat baru sampai,” tanya Zura akhirnya yang juga membuat Syakir dan Alda menoleh padanya.

“Iya benar, ana tadi sedang tidak di rumah. Ana tadi lagi sibuk mengisi kajian para santri putri,” jawab Alda ramah.

“Jadi kakak ini ustadzah juga, sama kaya Ummi Raina?” Zura nampak senang sekaligus kagum pada Alda.

“Hehe, bukan ustadzah, ana juga baru belajar tapi Abi dan Ummi memberikan waktu untukku memberi kajian, materinya pun ringan masih dasarnya,” jawabnya.

Syakir tidak berkata apa-apa, fokus pada jalanan di hadapannya namun tak bisa dipungkiri bahwa ia diam-diam mendengarkan percakapan antara adiknya dengan Alda.

“Tetap saja, aku kagum sama kakak. Aku juga mau tapi aku gak bisa kaya kakak. Aku gak pernah mondok karena aku sekolah di SMA Negeri,” celoteh Zura. Zura nampaknya sangat senang dengan Alda. Sementara Alda hanya tersenyum mendengarkannya.

“Kamu bisa kalau kamu belajar dengan baik dan sungguh-sungguh,” ucap Alda.

“Zura, di sekolah cuma sekali seminggu. Jadi, sulit agar bisa kaya kakak.” keluh Zura. Belum sempat Alda menanggapi, terdengar suara Syakir.

“Sudah, kita sudah sampai,” kata Syakir tiba-tiba.

“Ohh. Silahkan masuk saja,” ajak Alda.

***

“Jadi begini ... hm apa sebelumnya bapak sudah memberitahu Syakir tentang hal ini?” tanya ustadz Wahab pada Reza, Abinya Zura.

Kini di ruangan berlatarkan cat berwarna cream itu dengan hiasan bingkai kaligrafi indah terpampang di sekelilingnya, sudah ada Ustadz Wahab beserta keluarganya beserta Syakir, Zura, dan Ummi juga Abinya disana yang duduk saling berhadapan.

“Belum, tadz,” kata Reza. Syakir dan Zura bingung tentang apa yang akan dibicarakan oleh Abinya dan Ustadz pada mereka semua.

“ Baiklah. Jadi begini nak Syakir, Ustadz dan Abimu ini sebenarnya sudah berteman sejak lama. Dan kami memiliki janji, bahwa kami akan menjodohkan anak kami setelah dewasa, saat kemarin Abimu memberitahu kami akan berkunjung hari ini, ustadz sudah memikirkan ini. Dan Abimu setuju untuk membicarakan ini sekarang. Tentang Nak Syakir dengan anak saya.”

Tuturan Ustadz Wahab membuat Syakir terkejut begitu pula halnya Zura. Namun tidak dengan keluarga Ustadz Wahab. Mungkin mereka telah mengetahui ini sebelumnya termasuk Alda.

“Dijodohkan? Aku dengan Alda?” batin Syakir. Syakir tau bahwa Ustadz Wahab hanya memiliki seorang anak. Jika Alda adalah anak satu-satunya. Berarti dia lah yang akan di jodohkan dengannya.

“Tapi ini ... sebelumnya Abi tak pernah mengatakan apapun,” tanya Syakir sedikit frustasi dengan semua ini, pasalnya ia tak menyukai yang namanya perjodohan.

“Iya, Nak. Maafkan kami yang tidak mengatakan ini sebelumnya padamu,” ucap Ummi menenangkan Syakir.

“Abi pikir kamu sudah cukup mapan untuk ini, Syakir.” jelas Abi.

“Tapi Syakir masih kuliah Abi,Ustadz, dan Syakir belum bekerja,” adu Syakir mencoba menjelaskan maksud hatinya bahwa ia belum siap untuk menikah.

“Itu bukan pikiran,Nak. Bukankah sebelumnya Abi sudah mengatakan jika kamu  akan mengurus perusahaan Abi setelah kamu sarjana?” tenang Abi yang mencoba menyelesaikan beban pikiran Syakir.

“Benar,Nak. Jika kamu setuju, Abimu bisa mempercepat lamarannya. Dan kalian akan segera menikah setelah wisudamu. Bukankah 3 bulan lagi kamu akan wisuda?” tambah Ustadz Wahab.

Zura mulai bisa mencerna arah pembicaraan dua keluarga ini, mereka ingin menjodohkan Abangnya dengan anak dari Ustadz Wahab, tapi siapa? Alda?

“Ummi, bang Syakir mau dijodohkan dengan kak Alda, ya?” bisik Zura pada Umminya.

“Iya, sayang,” jawab Umminya.

Zura nampak senang, karena Alda akan menjadi kakak iparnya jika Syakir menerima perjodohan ini. Zura  berpikir ia akan dengan mudah belajar banyak dari Alda jika ia menikah dengan Syakir. Meskipun baru bertemu namun Zura yakin bahwa Alda adalah gadis yang baik.

Meskipun sangat senang namun Zura tidak bisa mengatakan itu pada Syakir kali ini, ia ingin membiarkan abangnya mengambil keputusan sendiri karena ini terkait masa depannya.

“Ya Allah, semoga abang, mau menerima perjodohan ini,” batin Zura.

“Ustadz, apa bisa Syakir minta waktu untuk ini, Syakir ingin meminta petunjuk dulu dari Allah. Syakir akan memberitahu keputusannya nanti,” pinta Syakir pada Ustadz Wahab. Syakir menatap Alda sekilas yang masih menunduk tanpa berkata apa pun disamping Ummi Raina, lalu mengalihkan pandangannya pada ustadz lagi.

“Baiklah. Bagaimana, Pak Reza?” tanya Ustadz Wahab pada Reza.

“Mana baiknya Ustadz, saya pikir juga Syakir benar,” jawab Abi Reza

“Baiklah, Nak. Kami tunggu keputusanmu. Tapi bersegeralah, tidak baik menunda-nunda.”
Ucapan Ustadz Wahab diangguki oleh Syakir.

“Lalu bagaimana dengan Nak Alda?” tanya Abi Reza pada Alda.

“Saya ... In syaa Allah siap, Pak.” jawaban Alda membuat mereka bahagia, lain halnya dengan Syakir, ia masih bimbang dengan semua ini dan kini keputusannya lah yang ditunggu-tunggu untuk menentukan akhir dari semua ini.

Next Part 4 ....