Tuesday, April 28, 2020

Cerita Bersambung “Azzura” Part 4


»Azzura«
Part 4

Pagi ini libur panjang Zura telah berakhir dan selama 4 hari kedepan ia akan melaksanakan UN untuk menentukan kelulusannya nanti. Hal tersebut bagi Zura tidak terlalu menakutkan karena selama menduduki bangku kelas 12 Zura sudah mempersiapkan semuanya, mengulang materi, latihan soal bahkan browsing, itu sudah menjadi rutinitasnya.

Namun kini yang ia khawatirkan adalah penampilan barunya yang menggunakan cadar, bisa jadi  akan banyak kata-kata kurang mengenakkan baginya karena ini pasalnya di sekolah tempatnya menuntut ilmu pakaian seperti ini adalah hal yang tak biasa, lain halnya dengan pakaian press, terbuka atau bahkan can see yang sudah menjadi  sesuatu yang biasa dan dianggap wajar.

“Abi,” panggil Zura. Reza yang sedang menyantap sarapannya menoleh ke arah anaknya.

“Ada apa, sayang?” Menjeda kegiatan makannya.

“Hari ini Abi sibuk gak?” Menyelesaikan makannya.

“Hmm, Abi ada urusan di kantor seperti biasa, memang ada apa, sayang?” Reza memperhatikan wajah Zura yang kurang bersemangat.

“Kamu sakit, Nak?” tanya Ummi, spontan menempelkan telapak tangannya di dahi Zura.
Syakir pun ikut memperhatikan kondisi adiknya itu.

“Kamu benaran sakit, Dek? Hari ini kan kamu ada ujian,” Syakir memastikan.

”Ehehe, gak kok. Zura gak sakit cuma cemas aja,” jujurnya.

“Yang bener?”

“Iya. Zura gak apa-apa. Hanya Zura cemas. Di sekolah nanti pasti banyak yang ngomongin Zura. Zura kan baru kali ini pake cadar. Wali kelas Zura juga belum tau. Maksud Zura kalau Abi gak sibuk, Zura hari ini mau diantar sama Abi, jadi Abi bisa bantu bilang ke wali kelasnya Zura.

“Maaf Sayang, hari ini Abi sibuk” jawab Abi tampak menyesal tak bisa mengantar putrinya.

“Abang aja yang antarin, Dek,” ucap Syakir yang mengakhiri kegiatan makannya.

“Memang abang bisa ngomong sama wali kelasnya Zura?” Zura seolah-olah meremehkan Syakir, tidak bisa membantunya. Terlihat menggoda.

“Kamu gak percaya sama abang kamu yang super tampan ini?” balas Syakir dengan gaya sok kecakepan.

“Sudah sayang, kamu tidak apa kan diantar sama abangmu?” ucap Ummi.

“Iya, Ummi, bisa kok.  Tapi abang janji ya bantuin Zura bilang ke gurunya. Awas kalau gak.” Zura menatap Syakir.

“Iya iya, bawel bangat sih,” Syakir yanh telah selesai meninggalkan meja makan lalu menuju ke kamarnya.

“Eihhh, abang mau kemana,” teriak Zura.

“Ngambil kunci, bocil.” Zura mendengar ia dipanggil bocil tak terima, saat akan meneriaki Syakir ia dicegah oleh ucapab Reza yang juga  telah selesai makan.

“Sudah, sana siap-siap berangkat nanti kamu terlambat. Abi gak mau lho dipanggil ke sekolahmu hanya gara-gara kamu telat,” kekeh Reza.

“Hehe, iya, Bi.” Menunjukkan puppy eyes nya.

“Sana. Pakai tas kamu, jangan lupa pakai juga niqob (cadar) kamu,” suruh Ummi.

“Ummi, Zura udah gede Ummi, gak usah diingatin pakai tasnya,” rengeknya tak mau diperlakukan seolah masih menjadi bocah kecil berusia lima tahun. Sama kaya sebutan abangnya tadi.

“Hehe, iyaa, sayang.” Ummi dan Abi Reza merasa geli melihat tingkah anak perempuan mereka satu-satunya yang tak mau dianggap bocah tapi kelakuannya menunjukkan sikap yang benar-benar kekanak anakan.

“Ayo, Dek.” Syakir sudah siap dengan jaket hodie berwarna hitam miliknya, tak lupa topi yang senada juga ia kenakan untuk melengkapi penampilannya. Menambah kesan gagah dan tampan pada dirinya, mungkin beginilah style yang ia gunakan sehari-hari di luar negeri.

“Assalamu'alaikum, Abi, Ummi, kami berangkat yah,” pamit Syakir
dan Zura menyalimi Abi dan Umminya.

“Hati-hati ya, sayang.”

***

“Ehh eh itu siapa?”

“Ya ampun, ganteng bangat.”

“Guru baru kali”

“Ehh itu lihat! ada cewenya.”

“Tapi kok cewenya kayak gitu?”

“Siapa dia? Kok ganteng - ganteng  bawa ninja sih?”

Riuh para siswa dan siswi saat Syakir dan Zura baru saja turun dari mobil sport merah milik Syakir. Tak ada seorang pun yang mengenali Zura karena wajahnya tertutup niqob begitupula halnya Syakir karena ini kali pertamanya ia menginjakkan kaki di sekolah adiknya ini.

“Dek, gak usah dengarin mereka, anggap aja itu kicauan burung pagi,” ucap Syakir menenangkan Zura

“Masa Zura dibilang ninja,” keluh Zura.

“Gak apa-apa dek jadi ninja. Ninja cantiknya abang, eaak,” canda Syakir setengha berbisik. Jika saja ada yang mendengarnya maka ia akan ditertawakan, ia jelas penampilan sama tingkah beda, untungnya hanya Zura yang mendengarnya.

“Eallah abang, apaan coba. Ayo cepatan!” serga Zura terkekeh.

***

Setelah mengantar Zura bertemu Kepala Sekolah dan juga  Bu Erni selaku wali kelas Zura, Syakir lalu menemani Zura ke ruang ujiannya. Zura sempat menolak namun Syakir memaksa, daripada
Zura terlambat masuk ruangan dalam waktu 15 menit lagi dan akhirnya akan terjadi perang dunia kesekian kalinya antara dia dan abangnya di sekolah,  akhirnya Zura lah yang mengalah. Mereka kini tampak seperti pasangan dimata para siswa maupun guru. Apalah daya jika Syakir sudah bersama Zura hilanglah malunya.

“Zuraaaa ....” Seseorang berlari menghampiri Zura.

“Inar, kamu tau ini aku?” tanya Zura saat seseorang yang bernama Inar itu berada dihadapannya.

“Iyalah, masa aku lupa sama sahabat sendiri, mau kamu pake niqob, sarung, atau karung sekalipun aku akan tetap ngenalin kamu,” Ya, seorang gadis tomboi berhijab dihadapan Zura saat ini adalah Inar,  Inar Ekmalia Syira sahabatnya  sejak SMP hingga sekarang.

“Iya, iya percaya,” Zura mengakhiri celotehan Inar.

“Oh iya, ini abang mu yang sering kamu ceritakan itu kan?” tanya Inar memperhatikan Syakir.

“Iya ... Bang kenalin ini Inar sahabat Zura,” Zura memperkenalkan Inar pada Syakir dan disambut senyuman dan katupan tangan di depan dada dari Syakir.

“Peserta Ujian diharapkan segera memasuki ruangan karena ujian akan segera dimulai,” ucap salah seorang panitia ujian.

“Yaudah, bang. Abang pulang aja sekarang. Nanti pulangnya aku bareng Inar aja,” Zura menyuruh Syakir untuk segera pulang.

“Yaudah, semangat ya, Dek, ujiannya kalau soalnya sulit kamu sebut aja nama abang, hahha. Assalamu'alaikum,” pamit Syakir.

“Dih abang, untung gak ada yang dengar. Wa'alaikumussalam.”

“Abang kamu cakep, yah,” Inar memuji Syakir.

“Istighfar Neng. Abang aku mukanya pas-pasan gitu dibilang cakep, udah ayo masuk,” Respon Zura.

“yuk”

***

“Lepaskan aku, toloong!! Heii lepaskan, kumohon!!” teriak seorang gadis di tepi jalan. Nampak gadis tersebut ditarik oleh dua orang pria.

Jalanan tampak sepi tak seorangpun dapat menolongnya, kecuali ia Syakir yang sedang melewati jalan tersebut, ia membunyikan klakson mobilnya namun sama sekali  tak di indahkan oleh kedua orang yang menarik seorang gadis tersebut.

“Yei Tuan, lepaskan dia. Apa seperti itu cara kalian memperlakukan seorang wanita?” Syakir turun dari mobilnya berjalan mendekati orang-orang itu.

“Jangan ikut campur, ini bukan urusanmu!” Salah seorang dari kedua pria tersebut mencoba menghalangi Syakir.

“To ... toloomg aku, kumohon!”

“Hentikan itu, dia kesakitan!” Syakir masih bersikap santun pada kedua orang tersebut.

“Pergi dari sini!! Jika tidak kami akan membunuhmu bersama gadis ini,” ancam salah seorang pria bertubuh tinggi besar.

“Baiklah jika kalian tidak mau melepaskannya, aku akan menelpon polisi dan melaporkan kalian,” Syakir merogoh saku jaketnya mencari sebuah benda yang akan ia gunakan untuk menelpon apalagi jika bukan ponsel.

“Dasar keras kepala!” Pria yang berdiri di depan Syakir mulai menyerang Syakir, meskipun sempat terkena pukulan akan tetapi Syakir dapat mengunci pergerakan pria tersebut dan akhirnya tersungkur jatuh di tanah.

“Sekali lagi Aku katakan, lepaskan dia,” perintah Syakir. Namun si pria jangkung tinggi bertubuh besar itu melakukan hal yang sama dengan rekannya, menyerang Syakir. Meskipun begitu keahlian beladiri Syakir tak bisa disepelekan, pria kedua tersebut ikut tersungkur di tanah bersama rekannya.

“Ayo cepat, naik ke mobilku.” Gadis itu tidak mengatakan apapun langsung mengikuti perintah Syakir. Sementara Syakir telah menelpon polisi untuk menangkap dua orang yang sedang meringis kesakitan dia atas tanah.

***

“Kenapa mereka menarikmu seperti tadi. Apa kau mengenal mereka?” Pertanyaan itu dilontarkan Syakir pada gadis saat mobil Syakir sedang melaju.

“Mereka suruhan saudara kembarku dan mereka ingin membunuhku,” jelasnya dengan ringisan sembari memegang lengan tangannya yang memerah.

“Saudara kembar?”

“Iyaa ... dia sangat membenciku,” gadis itu tak kuasa membendung air matanya. Sungguh berat bebannya.

“Baiklah, tidak usah ceritakan jika itu membuatmu sedih,” iba Syakir yang tak tega dengannya.

“Aku Syakir, siapa namamu dan dimana aku harus mengantarkanmu pulang?” lanjut Syakir.

“Alda, dan turunkan saja aku di warung depan sana,” menunjuk sebuah warung pinggiran jalan.

“Alda? apakah namamu benar Alda? Apa aku tidak salah dengar?” Syakir kaget mendengar jika nama gadis itu adalah Alda. Apa hanya kebetulan saja namanya bisa sama?

“Iya, ada apa Tuan?”

“Oh tidak, tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikannya.” Sebenarnya Syakir masih ragu dan entah kenapa berbagai macam hal kini berkecamuk di pikirannya. Ahh sudahlah itu hanya kebetulan biasa.

“Baiklah disini saja,” ucap gadis yang namanya adalah Alda itu. Syakir menepikan mobilnya tepat di depan sebuah warung dan memperhatikan sekeliling.

“Dimana rumahmu?” tanya Syakir.

“Ada di gang depan, kamu cukup mengantarkanku sampai disini saja. Dan sekali lagi terima kasih Tuan sudah menyelamatkan ku,” ucap tulus gadis bermata  bulat dengan lesung pipi yang nampak manis diwajahnya.

“ Entah mengapa aku merasa mata itu tidak asing bagiku,” batin Syakir.

“Ehh, jangan panggil aku Tuan, panggil saja aku Syakir dan berhentilah untuk  berterima kasih padaku. Baiklah aku pergi, Assalamu'alaikum.” Syakir akhirnya pamit untuk segera pergi serelah mengucap salam pada Alda.

“Wa'alaikumussalam,” Alda menatap kepergian Syakir dia tampak aneh.

××××

Hemm, kok Alda dua yah readers??🧐

Next part 5.